Seiring dengan berakhirnya program tax amnesty pada bulan Maret 2017 ini, kiranya langkah yang ditempuh oleh Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak perlu diapresiasi. Dimana dunia bisnis dan usaha nasional bakal menerapkan sistem bisnis analisis dan intelijen.
“Dalam konsep ini, segala langkah kebijakan yang diambil oleh Kementrian Keuangan dan Direktoral Jenderal Pajak bakal berpatokan pada komparasi data,” kata Chairperson Enciety Business Consult Kresnayana Yahya menjelaskan, dalam acara Perspective Dialogue Radio Suara Surabaya, Jumat (3/2/2017).
Ia lalu menyebut dari tahun ke tahun jumlah importir terus meningkat, namun pendapatan pajak yang diterima pemerintah terus menurun, Untuk mengatasi masalah tersebut, para importir dianjurkan untuk ikut tax amnesty. Tapi hasilnya, yang ikut tax amnesty cuma 3 persen dari jumlah importir yang terdata di Kementerian Keuangan dan Direktoral Jenderal Pajak.
“Nah, seiring dengan perkembangan tersebut, kita mengetahui beberapa waktu yang lalu pemerintah melakukan pembatasan jumlah impor daging,” tegas Kresnayana.
Kata Kresnayana, contoh tersebut merupakan bentuk dari sistem bisnis analisis dan intelijen yang saat ini telah diterapkan di Indonesia. Dengan memiliki data sebagai panduan, para pelaku usaha tidak lagi dapat “mencurangi” negara dalam hal perpajakan.
“Ke depan, setelah selesainya tax amnesty para pengusaha harus tertib dalam urusan perpajakan,” tambah pakar Statistik ITS itu.
Kresnayana menambahkan, pada tahun 2018, informasi exchange bukan hanya diberlakukan di Indonesia. Tapi bisa dilakukan dalam skala internasional.
“Mulai tahun 2018 mendatang, setelah digelarnya tax amnesty, kita dapat mengetahui seluruh aset dan harta kekayaan para pengusaha kita di luar negeri. Selain itu, kita juga dapat memantau seluruh transaksi yang dilakukan oleh para pengusaha kita di luar negeri,” tutur dia. (wh)