
Manajemen PT Pelabuhan Indonesia III bertekad terus menekan dwelling time, yakni lamanya kontainer mengendap di lingkungan pelabuhan dengan mengefektifkan segala bentuk lanyanan serta meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak terkait.
“Untuk menekan (dwelling time) tentu Pelindo III tidak bisa sendiri, karena banyak pihak yang terkait dengan penatalaksanaan arus barang di pelabuhan. Kami harus bersama-sama dengan berbagai pihak terkait,” kata Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) atau Pelindo III , Edi Priyanto.
Berdasarkan data, dwelling time di sejumlah terminal yang dikelola Pelindo III saat ini bervariasi. Contohnya, di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya selama 4 hari, di PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS) 5,8 hari, PT Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI) Surabaya 5 hari, Terminal Teluk Lamong Surabaya 5 hari dan Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) 5,5 hari.
Pelindo III adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam sektor perhubungan. Tugas, wewenang dan tanggung jawabnya mengelola 43 pelabuhan di tujuh provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta memiliki 10 anak perusahaan dan afiliasi.
Seperti diketahui, masalah dwelling time ini sempat membuat Presiden Joko Widodo marah karena masih kurang berdaya saing dibandingkan negara-negara tetangga. Sebab, kecepatan penanganan muatan kapal sejak turun dari kapal hingga keluar pelabuhan juga merupakan indikator daya saing layanan di pelabuhan.
Pelindo III, kata Edi melanjutkan, akan terus berupaya agar dwelling time turun dari yang telah dicapai saat ini. Penurunan dwelling time berarti perbaikan layanan dan perbaikan layanan berarti peningkatan daya saing.
Dwelling time merupakan lamanya waktu kontainer meninap atau mengendap di pelabuhan setelah diturunkan dari kapal, diangkut ke lapangan penumpukan (container yard) hingga akhirnya barang tersebut diangkut keluar pelabuhan. Jadi, dwelling time terkait erat dengan arus barang impor.
Kontainer berada di lapangan penumpukan untuk menunggu proses administrasi dan pemeriksaan yang mengikutinya sebelum kontainer tersebut dikeluarkan dari lingkungan pelabuhan. Arus kontainer (flow of goods) harus sejalan dengan arus dokumen (flow of documents) dan arus uang (flow of money).
Arus barang adalah perjalanan kontainer dari lapangan penumpukan keluar lingkungan pelabuhan atau ke gudang importir. Arus barang biasanya menggunakan armada angkutan berupa truk. Untuk mengangkut kontainer keluar lingkungan pelabuhan biasanya sudah ada penyedia jasa angkutan dari anggota Organda.
Meski demikian, kemacetan lalu lintas terkadang menjadi hambatan yang cukup berarti dalam pengangkutan fisik barang ini. Antrean truk pengangkut kontainer menjadi panjang dan memakan waktu lama. Dampak ikutannya, biasanya terkait masalah “truck closing”, yakni batasan waktu angkutan bisa masuk ke lingkungan pelabuhan untuk mengangkut kontainer.
Sedangkan terkait dengan arus dokumen, kontainer diperbolehkan keluar pelabuhan setelah melalui pemeriksaan aparat Bea Cukai , Badan Karantina atau instansi lain yang berwenang. Kontainer yang masuk oleh ¿consignee¿ atau yang dikuasakan mengajukan permintaan ke Bea Cukai , Badan Karantina atau pihak berwenang lainnya untuk memperoleh clearence documents.
Selain arus barang dan arus dokumen tersebut, dalam penatalaksanaan arus barang di pelabuhan juga dibarengi dengan arus uang. Setiap layanan yang diberikan untuk penanganan kontainer dan dokumen yang menyertai dikenakan biaya. Pengguna jasa harus membayar sejumlah uang untuk semua itu.
Jika dilihat dari bagian per bagian, maka kegiatan pengeluaran barang dari lingkungan pelabuhan terdiri dari tiga tahapan, yaitu pre-clearance, custom clearance dan post clearance. Pre-clearance terkait dengan masalah pembayaran di bank . Custom clearance berhubungan dengan proses kepabeanan dan cukai , sedangkan post clearance terkait dengan audit.
Jadi, alur perjalanan kontainer setelah turun dari kapal hingga keluar lingkungan pelabuhan melibatkan berbagai pihak terkait, yakni PT Pelindo sebagai penyedia layanan terminal dan lapangan penumpukan, Badan Karantina, Bea Cukai atau instansi lain sebagai pengawas keluar masuknya barang, Organda sebagai penyedia jasa angkutan, perbankan sebagai penyedia jasa keuangan, Otoritas Pelabuhan sebagai koordinator kegiatan di lingkungan pelabuhan, serta ¿consignee¿ atau pihak yang diberi kuasa pemilik barang.
Artinya penanganan arus kontainer atau arus barang di pelabuhan melibatkan berbagai pihak dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Kelancaran arus barang tidak bisa ditangani sendiri-sendiri. Jika ingin menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan kelancaran arus barang, maka para pihak harus duduk bersama untuk memperoleh solusi terbaik, efektif dan afisien. (wh)