Bank Indonesia terus menjaga komitmen mendorong pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Salah satunya mendorong industri halal di Tanah Air.Pasalnya, Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, hinggakini masih menjadi pasar bagi produk halal dari negara lain.
Memperhatikan fenomena tersebut, pada Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) 2018 pada hari kedua, Kamis (12/12/2018), di Grand City Convention and Exhibition Surabaya, diselenggarakan business matching. Acara ini mempertemukan UMKM Jawa Timur dengan buyer dari Malaysia, Turkmenistan, dan Kadin Sumatra Utara.
“Total terdapat lebih dari dari 250 produk yang mengikuti business matching kali ini. Produknya telah
kami pastikan siap ekspor. Baik secara kualitas maupun kuantitas,” tutur Kepala
Perwakilan BI Provinsi Jawa Timur Difi A Johansyah, Kamis (13/12/2018).
Business matching yang berlangsung
selama satu jam tersebut, berhasil melahirkan kesepakatan kerjasama senilai Rp
3 miliar antara IKM Jawa Timur dengan Yusma Family Trading Malaysia.
“Ini menjadi bukti bahwa barang UMKM Jawa Timur tidak kalah
dengan daerah lain. Permasalahannya, hanya bagaimana mencari pasar yang
sesuai,” tandas Difi.
Dari sisi kualitas, terang dia, jaminan terhadap produk halal untuk pasar
ekspor mutlak diperlukan, Sebagai bentuk dukungan, Bank Indonesia bekerjasama
dengan LPPOM MUI, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi dan
UMKM Provinsi Jawa Timur menginisiasi program sertifikasi halal yang diberikan
pada 100 UMKM yang tersebar di seluruh Jawa Timur.
“Saat ini, masyarakat mulai makin memiliki kesadaran terhadap aspek halal suatu
produk. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di luar negeri. Oleh karena itu, halal value chain menjadi aspek yang
penting dalam peningkatan kualitas produk ekspor Indonesia,” tutur Difi.
Pada kegiatan Waqf Caring Day dilakukan penandatanganan MoU Dompet Dhuafa
dengan IPHI Pasuruan untuk kerjasama pembangunan rumah sakit. Beberapa lembaga
dan perbankan syariah juga melakukan komitmen terhadap cash waqf linked sukuk
sebesar Rp 1,2 triliun. Selain itu, dilakukan juga MoU Forum Wakaf Produktif
dengan Koperasi Pesantren Al-Ihya Pandeglang, Banten untuk kerjasama
pengembangan produksi pengolahan kelapa.
Pengembangan wakaf produktif dibutuhkan untuk mendorong perekonomian nasional,
khususnya di tengah masih terbatasnya pembiayaan sosial atau Islamic Social
Finance. Sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia
memiliki potensi realisasi wakaf yang besar. Untuk itu, sejalan dengan inovasi
yang terus berkembang, instrumen-instrumen keuangan sosial Islam seperti wakaf
dapat lebih diperkuat sehingga semakin berperan untuk mendukung berbagai
aktivitas produktif dan redistribusi kesejahteraan kepada masyarakat kurang
mampu.
“Dalam jangka panjang, instrumen ini juga diharapkan dapat mendukung pencapaian
pertumbuhan Sustainable Development Goals (SDGs) seperti mengurangi kemiskinan,
mengatasi kelaparan, dan meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan, serta
memperkecil kesenjangan sosial,” tutur Deputi Gubernur BI, Erwin Rijanto.
Berbagai langkah untuk mengembangkan wakaf telah dilakukan Bank Indonesia
bekerjasama dengan berbagai pihak, antara lain penyusunan dan penerbitan Waqf
Core Principles (WCP) dan penerbitan Waqf- Linked Sukuk (WLS). Selain itu, Bank
Indonesia juga bekerjasama dengan Universitas Darussalam Gontor mendirikan
pusat pendidikan bidang wakaf Internasional Center of Awqaf Studies (ICAST).
ICAST ini merupakan suatu wadah pengembangan keilmuan yang mencakup
pengembangan kurikulum dan edukasi melalui program studi pascasarjana Magister
Wakaf, program sertifikasi nadzir wakaf, research and development, seminar dan
pelatihan, serta publikasi terkait wakaf.
Kesepakatan lain juga tercipta pada momen Sharia Fair. Diantaranya, kesepakatan
kerjasama dengan total nilai Rp 3,623 trilyun antara BJB Syariah dengan 15
debitur, pisma group dengan Pondok Pesantren Al Anwar 2 Rembang, Bank Muamalat
Indonesia dengan Lembaga Wakaf MUI, sindikasi perbankan syariah dengan PT
Jakarta Toll Road Development, serta kesepakatan lainnya.
Hendra Utama, Staf Khusus Direksi Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan kosmetika LPPOM-MUI, mengungkapkan produk yang telah memiliki
sertifikasi halal di Indonesia didominasi makanan dan minuman (61%), farmasi
(26%), dan kosmetik (11%).
“Salah satu permasalahan dalam ekspor produk halal adalah adanya standardisasi
halal yang berbeda-beda di masing-masing negara,” katanya.
Irwan Santo Widjaja, Ketua Komite Pembinaan dan Pengembangan UMKM Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, menyoroti sejumlah pengusaha merasa kesulitan ketika terdapat persyaratan yang berbeda-beda untuk melakukan ekspor ke suatu negara. “Solusinya seharusnya disediakan information center di dinas terkait supaya para pengusaha memperoleh informasi yang lengkap terkait ekspor produk halal ke suatu negara tertentu,” tutur dia. (wh)